YOUR ADS HERE

Minggu, 13 Juni 2010

Timur Tengah yang Kian Ruwet

Timur Tengah yang Kian Ruwet
SIAPA pun yang berharap akan datangnya perdamaian atau setidaknya ketenangan dan kestabilan di Timur Tengah tidak ubahnya menunggu Godot yang tidak pernah datang di lakon karya Samuel Beckett yang terkenal itu. Hari-hari ke depan, kawasan tersebut justru akan semakin bergolak seiring dengan sikap kepala batu Israel.

Bukannya secara terbuka meminta maaf atas kebiadaban tentara mereka kepada para aktivis perdamaian di Kapal Mavi Marmara, Israel malah semakin provokatif. Mereka menolak investigasi internasional atas insiden itu dan memilih untuk menyelidiki sendiri -yang hasilnya nanti tentu saja bakal jauh dari objektif. Yang lebih parah, mereka justru menegaskan bakal lebih memperketat blokade atas Gaza.

Padahal, blokade perbatasan yang mereka lakukan sejak 2007 telah mengakibatkan 80 persen dari total 1,5 juta warga Gaza menderita lahir batin. Pengobatan sulit didapatkan penghuni wilayah yang dikuasai Hamas itu yang sedang sakit. Begitu pula bahan kebutuhan hidup. Termasuk, tentu, susu untuk anak-anak.

Kebengalan Israel tersebut juga langsung memicu kemarahan besar Turki. Maklum, mayoritas di antara total aktivis yang tewas di atas Kapal Mavi Marmara adalah warga negeri yang terletak di dua benua tersebut.

Perdana Menteri Turki Recep Tayip Erdogan menarik duta besarnya di Tel Aviv. Deputi Perdana Menteri Bulent Arinc menyatakan bahwa negaranya bakal mengurangi kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan Negeri Yahudi tersebut. Duta Besar Turki untuk Amerika Serikat Namik Tan menegaskan bahwa Israel bakal kehilangan sekutu terbaik di Timur Tengah jika tidak meminta maaf kepada Turki.

Kemarahan Turki itu jelas kian menyuramkan suasana regional di Timur Tengah. Sebab, Turki selama ini memiliki posisi istimewa dalam konstelasi politik di kawasan tersebut. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tapi berhaluan sekuler, negeri yang dulu bernama Konstatinopel itu bisa luwes mendayung di antara Israel, Palestina, negara-negara yang moderat terhadap Israel, dan negara-negara yang keras terhadap negeri zionis tersebut.

Kalau Amerika Serikat (AS) memiliki agenda pembicaraan damai Timur Tengah, Negeri Paman Sam itu juga biasanya meminta bantuan Turki untuk menjadi semacam mediator atau penyambung lidah. Semua itu bisa dilakukan Turki tanpa kehilangan independensinya.

Nah, kalau sang mediator sudah sedemikian marah kepada Israel, otomatis bakal sulit mencari negara yang bisa berperan sebagai penyeimbang dalam konflik Timur Tengah.

Mesir, yang juga punya hubungan diplomatik dengan Israel, terlalu menurut kepada Israel dan AS. Jordania? Pengaruh negeri monarki tersebut tidak terlalu bergaung di pentas regional.

Karena itu, semestinya, AS yang kini harus aktif berperan. Washington seharusnya bisa lebih menekan Tel Aviv agar sedikit mereduksi sikap kepala batu mereka. Israel memang mungkin tidak akan pernah meminta maaf atas tragedi Mavi Marmara. Tetapi, setidaknya, Washington harus bisa membujuk Tel Aviv agar kooperatif terhadap tim investigasi internasional -bila nanti sudah terbentuk- di bawah pengawasan PBB.

Persoalannya sekarang bergantung kepada kemauan. Baik itu kemauan AS untuk bertindak maupun kemauan Israel untuk berjiwa besar. Bukankah dalam pidatonya di Kairo dulu Obama menginginkan sebuah tata dunia baru yang ramah, toleran, dan egaliter? Kalau kemudian AS sudah berusaha, namun Israel tetap bergeming dengan sikapnya seperti sekarang ini, pernyataan kritikus kebijakan Israel asal AS Noah Chomsky memang benar: Israel itu negara teroris! (*)

Tidak ada komentar: