Dahlan Iskan: Tantang Gratiskan untuk Rakyat Miskin
"Teorinya, subsidi itu untuk orang, bukan perusahaan," kata Dahlan dalam media briefing Forum Diskusi Wartawan Keuangan dan Moneter (Forkem) di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, kemarin (12/6).
Menurut dia, jika subsidi tidak dikucurkan kepada perusahaan, masyarakat bisa membayar biaya pemakaian listrik sesuai dengan tarif yang ditetapkan oleh PLN. Selain itu, sistem tersebut mengharuskan mereka yang tak layak dapat subsidi membayar listrik sesuai dengan biaya pokok produksi (BPP). Itu berbeda dengan saat ini. Dengan subsidi yang dikucurkan oleh pemerintah kepada PLN, pemberian subsidi tak terkontrol.
Dahlan menyebut konsep subsidi listrik itu hampir mirip dengan BLT (bantuan langsung tunai), yang juga kompensasi dari kenaikan harga BBM. Bedanya, papar dia, PLN memiliki data tentang siapa saja konsumen yang layak menerima subsidi. Hal tersebut bisa menghindarkan kesalahan pemberian subsidi. "Data kami valid," ujarnya.
Subsidi langsung itu juga memiliki manfaat lain. Masyarakat yang menerima subsidi, ungkap Dahlan, otomatis berupaya menghemat pemakaian listrik. "Misalnya, saya mendapatkan subsidi Rp 50 ribu. Saya akan berpikir, daripada semuanya untuk listrik, saya sisihkan sekian untuk biaya sekolah anak. Artinya, saya harus menghemat listrik," jelasnya.
Pada kesempatan itu, Dahlan juga mengungkapkan kekesalannya atas dilema tarif dasar listrik (TDL) yang bakal naik pada 1 Juli nanti sebesar 10 persen. Dia mempertanyakan kenapa PLN selalu disalahkan setiap kali TDL naik. Padahal, naik atau tidaknya TDL ditentukan oleh pemerintah dan DPR.
"Di DPR, saya tiba-tiba ditanya, untuk apa Anda jadi Dirut PLN kalau hanya menaikkan TDL? Saya tidak habis pikir, kok pertanyaan seperti itu malah datang dari DPR," katanya. "Saya ditanya lagi, berarti, Anda tidak membela rakyat miskin?" lanjut pria kelahiran Magetan tersebut.
Dahlan justru balik menantang, kalau memang ingin membela rakyat miskin, kenapa tidak sekalian saja menggratiskan listrik untuk mereka. Sayang, tantangan itu tak terlalu digubris para wakil rakyat. "Mungkin mereka mengira saya gila," ujarnya lantas terkekeh.
Dia menyatakan tidak guyon ketika menantang listrik gratis untuk rakyat miskin. Menurut bapak dua anak itu, masyarakat miskin bisa diberi listrik gratis asal para pelanggan dengan daya di atas 450 watt membayar listrik sesuai dengan BPP.
Itu membuat PLN kehilangan duit Rp 1,5 triliun (dari 20 juta pelanggan berdaya 450 watt). Namun, perusahaan pelat merah tersebut justru bisa meraup Rp 15 triliun-Rp 20 triliun dari pelanggan berdaya di atas 450 watt.
"Warga miskin itu kan diperkirakan mereka yang punya lima bohlam, satu televisi, satu VCD, setrika, dan satu rice cooker yang dipakai bergantian dengan setrika," tutur Dahlan.
Dia menambahkan, bisnis listrik adalah bisnis unik. Itu amat berbeda dengan bisnis telekomunikasi dan perbankan. Ketika terjadi persaingan pada dua sektor bisnis tersebut, konsumen sangat diuntungkan karena harga semakin murah.
Namun, di bisnis energi, harga justru makin naik ketika tidak ada monopoli oleh PLN. Sebab, ungkap dia, perusahaan listrik swasta tidak bakal mau mematok harga di bawah ongkos produksi. Berbeda dengan PLN yang menarik Rp 650 per kwh kepada konsumen padahal BPP Rp 1.200 per kwh. Artinya, PLN tekor Rp 550 per kwh untuk setiap listrik yang dijual.
Dahlan memperkirakan harga listrik naik 30 persen bila bisnis itu benar-benar diserahkan kepada mekanisme pasar. "Di Filipina harga listrik sangat mahal karena diserahkan sepenuhnya kepada swasta," ungkap dia.
Pernyataan Dahlan dibenarkan oleh Fabby Tumiwa, pengamat kelistrikan yang hadir dalam acara tersebut. Menurut dia, upaya swastanisasi pengelolaan listrik pernah dilakukan oleh negara-negara maju, seperti AS dan Inggris. Bahkan, Inggris berani menerapkan praktik unbundling dalam pengelolaan setrum itu. Yakni, memisahkan pengelolaan transmisi, distribusi, dan pembangkitan listrik. Itu terbagi-bagi dalam sejumlah perusahaan yang berbeda.
Namun, lanjut Fabby, lambat laun ada persoalan sehingga perusahaan-perusahaan tersebut merger satu sama lain. Bahkan, sejumlah perusahaan yang dianggap paling besar harus rela merger. Sebab, karakter bisnis listrik sangat berbeda.
Menurut dia, perusahaan listrik tak menciptakan listrik. "Hanya meng-generate untuk menghasilkan listrik dengan bahan bakar primer. Karena itu, pasokan dan harganya sangat ditentukan oleh harga bahan bakar," jelasnya.
Bisnis listrik, lanjut dia, tak bisa dibandingkan dengan bisnis telekomunikasi. Dia menganalogikan, apabila punya duit USD 50 juta, seorang investor bisa mendirikan perusahaan telekomunikasi dengan coverage area yang lumayan. Dalam kisaran waktu tak lama, investor bisa meraup keuntungan.
Investasi dalam jumlah sama tak berlaku di bisnis listrik. Uang sejumlah itu, papar dia, hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik satu kampung kecil. "By nature, bisnis tersebut memang memiliki banyak barier (kendala, Red)," terangnya.
Dahlan menjelaskan, upaya menekan BPP sudah dilakukan. Antara lain, meminimalkan potensi korupsi dalam pengadaan barang dan transparansi keuangan. PLN bahkan sudah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Itu dilakukan agar setiap transaksi pengadaan barang dan keuangan PLN bisa diakses lembaga-lembaga tersebut. "Jadi, tidak perlu tanya-tanya, semuanya sudah online dan live, bisa mereka lihat. Bahkan, beli aromaterapi pun bisa ketahuan," katanya lantas terbahak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar